Jejak Darah di Cikini yang Tak Pernah Dilupakan Megawati, Kenangan Pahit yang Mengubah Cara Pandangnya soal Teror & Pendidikan

Jakarta – Megawati Soekarnoputri mungkin dikenal publik sebagai Presiden ke-5 RI. Namun jauh sebelum itu, ia adalah siswi kecil di Perguruan Cikini yang tumbuh dengan karakter kritis dan rasa ingin tahu besar. Para guru mengenalnya bukan karena statusnya sebagai putri Sukarno, melainkan karena ia aktif, cerewet soal pelajaran, dan bahkan punya kebiasaan unik: selalu membawa permen mint pedas agar tak mengantuk saat belajar.

Kisah masa kecil Mega bukan sekadar nostalgia. Ada satu peristiwa yang membekas begitu dalam hingga membentuk cara pandangnya soal kekerasan dan radikalisme: tragedi pelemparan granat di Perguruan Cikini pada 1957.

Dalam buku Cerita Kecil dari Cikini, Mega diceritakan pernah memprotes kepala sekolah karena bosan hanya disuruh menghafal. “Kami ingin diajari berpikir,” katanya lantang. Sikap kritis itu menjadi ciri khasnya sejak dini.

Namun sebuah momen yang awalnya penuh kegembiraan berubah menjadi hari paling kelam dalam hidupnya. Lima hari setelah peringatan Hari Guru Nasional 30 November 1957, sekolah menggelar pameran. Mega memaksa ayahnya datang — bukan sebagai presiden, melainkan sebagai orangtua murid.

Begitu Sukarno hadir, suasana langsung riuh. Anak-anak berebut memeluknya, seperti “selfie massal” di era sekarang. Tapi dalam keramaian itu, bahaya mengintai.

Sebuah granat tiba-tiba dilempar ke arah Sukarno. Ledakan mengguncang halaman sekolah.
Lebih dari 100 orang menjadi korban — ada yang tewas, terluka, hingga cacat seumur hidup.

Mega shock. Ia terpukul. Dan ia membawa luka batin itu sepanjang hidupnya. Sesekali ia masih menyesal: “Seandainya aku tidak memaksa ayah datang…”

Tragedi Cikini menjadi “guru” yang paling keras dalam perjalanan Mega. Ia menyaksikan langsung bagaimana teror bisa menghancurkan keceriaan anak-anak, merusak rasa aman, dan mencederai kemanusiaan.

Bertahun-tahun kemudian, pengalaman itu menjelma menjadi fondasi ketika ia membentuk dan memimpin BPIP. Mega ingin memastikan kekerasan atas nama ideologi tak punya ruang lagi di negeri ini. Tidak boleh ada Cikini 2.0.

Di momen Hari Guru Nasional 2025, kisah ini mengingatkan kita bahwa guru hadir dalam banyak rupa — termasuk tragedi. Dan Mega, dalam caranya sendiri, menerjemahkan pengalaman pahit itu menjadi upaya membumikan Pancasila agar teror tidak lagi menghantui generasi berikutnya.

Selamat Hari Guru Nasional 2025.
Untuk semua guru — di kelas, di rumah, dan dalam perjalanan sejarah bangsa.

✍️ Rusli

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama