Luka yang Disulam Menjadi Kekuatan: Kisah Menggetarkan Amelia Achmad Yani

Siapa yang tidak mengenal sosok pahlawan revolusi, Jenderal Achmad Yani salah satu putra terbaik bangsa yang gugur pada peristiwa kelam Gerakan 30 September 1965 (G30S). Namanya terpatri abadi pada jalan-jalan utama di seluruh pelosok negeri, sebagai pengingat pengorbanan seorang patriot sejati.

Namun di balik nama besar tersebut, ada kisah pilu dan perjalanan batin yang panjang dari sang putri, Amelia Achmad Yani, anak ketiga dari delapan bersaudara. Ia menyimpan kenangan pahit tentang pembunuhan ayahnya yang meninggalkan luka mendalam, terutama karena ia masih kecil ketika tragedi itu terjadi.

Pelarian Batin dan Upaya Menyembuhkan Luka

Dalam wawancara bersama Tribunnews dan Kompas, Amelia mengungkapkan bahwa ia pernah meninggalkan hiruk pikuk kota dan memilih tinggal lebih dari 20 tahun di sebuah dusun kecil bernama Bawuk di Sleman, Yogyakarta. Ia pergi untuk menenangkan diri dan berdamai dengan masa lalu.

Di desa sederhana tanpa listrik, Amelia hidup bersama alam. Ia mengelola sawah, memelihara ikan gurame, menanam beragam buah hingga beternak ayam. Di sana, ia bangun sebelum matahari terbit dan bekerja bersama para petani. Kesederhanaan itu menghapus amarah, dendam, dan luka yang menyesakkan dada selama puluhan tahun.

> “Di desa itulah semua rasa benci, iri hati, dan sakit hati itu hilang. Saya belajar menerima.

Perjalanan ini juga mempertemukannya dengan keluarga-keluarga keturunan PKI, yang selama ini dianggap berseberangan. Pertemuan itu justru menjadi pintu untuk saling memahami, bukan membenci.

Menulis untuk Menyembuhkan dan Menyuarakan Kebenaran

Rasa penasaran dan pertanyaan tanpa jawaban tentang kematian ayahnya mendorong Amelia menulis buku tentang Jenderal Achmad Yani. Ia mewawancarai tokoh-tokoh penting seperti Jenderal A.H. Nasution, Sarwo Edhie Wibowo, dan Soemitro, demi mencari fakta dan jawaban sejarah.

> “Saya menulis bukan untuk dendam, tetapi untuk cinta Tanah Air.”

Setiap malam, dalam kesunyian pukul satu hingga tiga pagi, ia menulis sambil bercucuran air mata. Ia merasa seolah ayahnya hadir, membimbing, dan membuka ruang penyembuhan dalam dirinya.

Tahlilan di Mana Pun Ia Berada

Kini, meski telah menjalani tugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bosnia-Herzegovina di Sarajevo, kenangan setiap bulan September tetap menyesakkan dada. Ia selalu mengadakan tahlilan untuk ayahnya, menyesuaikan waktu Indonesia dengan waktu setempat.

> “Seperti sebuah potret yang berjalan,” ucapnya setiap kali mengenang G30S.

Bangkit, Gagal, Bangkit Lagi

Setelah kembali ke Jakarta tahun 2019, Amelia sempat terjun ke dunia politik di Purworejo. Ia hampir memenangkan kontestasi bupati, namun akhirnya kalah dan kehilangan banyak hal termasuk materi.

Namun ia tidak menyerah. Menulis kembali menjadi jalan pulang, jalan yang membuatnya tumbuh lebih kuat dan bijaksana.

> “Ketika saya sendirian, saya menulis lagi. Saya menulis lagi.”

Penutup

Kisah Amelia bukan sekadar cerita tentang trauma dan kehilangan—ini adalah kisah seorang perempuan yang memilih mengubah luka menjadi cinta, dan tragedi menjadi energi untuk berkarya. Pesan ayahnya tetap menjadi kompas hidup:

> “Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot. Karena saya cinta Tanah Air.”

Semangat itu kini ia wariskan kepada generasi muda, agar tak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.
Sumber : Intisari.grid.id 

#AmeliaAchmadYani #PahlawanRevolusi #G30SPKI #LukaMenjadiKekuatan #SejarahBangsa #PatriotTanpaSenjata #InspirasiIndonesia

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama